Sejarah Desa Buayan

Sejarah Desa Buayan

Sejarah Desa Buayan

Menurut Willian R. Bascom, legenda adalah cerita dengan ciri khas mitos dan diyakini telah terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Cerita-cerita tesebut biasanya diwariskan secara turun-temurun tanpa adanya pakem yang baku sehingga muncullah beberapa versi dari legenda berdasarkan penuturnya  masing-masing. Begitupun yang terjadi pada legenda Desa Buayan, terdapat beberapa versi tentang asal-usul Desa Buayan yang populer dikalangan masyarakat Desa Buayan.

Legenda Desa Buayan versi yang pertama adalah menurut cerita para orang tua/sesepuh Desa. Beberapa diantaranya adalah Simbah Muhamad Dahlan, Simbah Mulyodiharjo, dan Simbah Sanasir, Desa Buayan memiliki cerita/legenda sebagai berikut:

Pada zaman dahulu, bermula dari sebuah rawa yang terletak di kaki perbukitan/kawasan karst Gombong Selatan yang berjarak kurang lebih 11 Km dari Gombong. Di rawa tersebut konon terdapat banyak buaya yang dapat membahayakan siapa saja yang melewatinya. Sungai yang saat ini mengairi desa Buayan, yakni sungai Jatinegara, pada masa itu belum terbentuk.

Pada dasarnya, setiap orang memerlukan tempat tinggal ataupun lahan untuk mencari penghidupan, satu demi satu orang-orang dari tempat lain mulai berdatangan ke rawa ini untuk menetap dan hidup bersama sehingga terjalin hubungan satu sama lain dan saling memerlukan. Menurut Plato, seorang filsuf asal Yunani, munculnya suatu wilayah kesatuan yakni karena adanya rasa saling membutuhkan antar manusia di suatu wilayah tersebut. Selain itu, manusia menurut Aristoteles merupakan zoon politicon yang artinya adalah manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain sehingga terjadilah interaksi sosial.

Setelah terhimpun beberapa kumpulan manusia/komunitas, yang kemudian membentuk keluarga, pola pikir mereka mulai berkembang dan memikirkan cara untuk mengeringkan rawa tersebut agar bisa digunakan untuk bercocok tanam dan menjadi wilayah tempat tinggal yang lebih baik. Mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu tindakan untuk mengatasi masalah tersebut.

Mulailah para penduduk itu bekerja bahu membahu, gotong royong tanpa pamrih membuat saluran air/sungai agar nantinya air rawa mengalir ke laut lewat sungai tersebut. Hal serupa juga dilakukan oleh para penduduk desa tetangga terutama sebelah selatan. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun berjalan mengiringi pembuatan sungai dan akhirnya sampailah ke muara laut selatan/kali suwuk. Karena sungai tersebut merupakan sungai buatan, maka para penduduk memberi nama “KALIGAWE” yang artinya membuat sungai (sungai buatan).

Dengan adanya sungai Kaligawe tersebut, rawa disekitarnya menjadi kering, airnya stabil dan bisa diatur sesuai dengan kebutuhan. Para penduduk mulai bercocok tanam / bertani dan mendapat penghidupan yang layak pada masa itu. Lambat laun penduduk semakin bertambah dan bertambah pula kebutuhan serta dirasa perlu untuk membentuk suatu pemerintahan yang mengatur kehidupan masyarakat setempat.

Pada saat yang sama ada seorang tokoh yang berasal dari Kerajaan Mataram konon mendapat ttugas dari sang Raja untuk menjadi Adipati di daerah ini. Tokoh itulah yang mengawali adanya pemerintahan di daerah ini. Beliau bernama Raden Nolobaoe. Dengan kesepakatan paa penduduk setempat, daerah ini diberi nama Bayan. Buayan berasal dari kata bahasa Jawa Baya yang berarti Buaya. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Bahaya atau hewan Buaya, karena di daerah tersebut terdapat banyak buaya yang berbahaya bagi manusia.

Disisi lain, terdapat cerita legenda Desa Buayan versi cerita kerajaan yakni menceritakan kisah cinta Joko Puring, anak Demang Martodiwirdjo (Bupati Ambal dari pegunungan Menoreh) dengan seorang wanita yang bernama Raden Rara Sulastri anak dari seorang Demang di daerah Gombong. Dikisahkan bahwa Sulastri menolak Joko Puring karena dia memiliki cacat jasmani dan juga Sulastri mengetahui bahwa ayah Joko Puring tidak bisa menurunkan jabatannya kepada anaknya. Berbagai alasan sudah disampaikan untuk menolak Joko Puring, namun sebenarnya Sulastri menolak karena dia mencintai pria lain yakni Raden Soedjono.

Untuk menyelesaikan masalah ini, akhirnya diselenggarakan pertarungan terbuka antara Joko Puring dan Raden Soedjono dimana pemenangnya akan menjadi kekasih dari Sulastri. Pertarungan ini disaksikan oleh para sesepuh dan tokoh masyarakat setempat. Joko Puring yang notabene lebih sakti berhasil meringkus Raden Soedjono dan mencabut keris miliknya. Merasa panik, Raden Sulastri berteriak untuk mengalihkan perhatian. Naas, Joko Puring malah terkesima dan terperangah melihat paras Sulastri hingga keris ditangannya terjatuh. Dengan sigap Raden Soedjono merebut keris tersebut dan berlari mengejar Joko Puring. Peristiwa kejar mengejar tersebut terjadi disepanjang Pegunungan Kendeng yang terletak di wilayah Gombong membujur ke selatan hingga pesisisr samudera Hindia. Sampailah mereka berdua di tepian danau kecil didalam goa. Joko Puring ditempatkan pada dua pilihan yakni ditusuk oleh Raden Soedjono menggunakan keris atau menceburkan diri ke dalam danau tersebut. Dia lebih memilih melompat ke dalam danau meskipun belum tau kedalaman dan deras air yang mengalir disana. Sementara itu, Raden Soedjono menunggu ditepian danau bersama seluruh warga yang penasaran akan akhir dari pertarungan tersebut. Beberapa lama kemudian,

Raden Soedjono dan warga sekitar dikejutkan dengan adanya Buaya berukuran sangat besar yang muncul dari danau tersebut. “Hai, Soedjono. Aku mengaku kalah karena kecerobohanku. Sulastri memang pantas jadi jodohmu. Tapi ingat, kekalahanku ini akan kau tebus dengan anak cucumu. Bila suatu saat nanti anak cucumu lewat dan mendekati tempat ini mereka akan jadi mangsaku. Sedangkan bagi yang lain tidak,” kata buaya tersebut yang ternyata adalah jelmaan dari Joko Puring. Buaya tersebut kemudian menyelam ke danau. Raden Soedjono akhirnya berpesan kepada orang-orang yang berada disana agar tempat itu diberi nama Buayan sebagai pengeling-eling/tetenger atau pengingat atas terjadinya peristiwa tersebut.

 

Daftar Pustaka

(2021). YouTube. Retrieved February 2, 2023, from https://youtu.be/EmtvCQUc3kk.

Ananda. (2022, July 25). Legenda Adalah Bentuk cerita rakyat: Pengertian, ciri, Struktur & Contoh. Gramedia Literasi. Retrieved February 14, 2023, from https://www.gramedia.com/literasi/legenda-adalah/

Giri, W. (2010). Sajen dan ritual Orang Jawa.

Kuntowijoyo, & Yahya, M. (2006). Budaya Dan Masyarakat. Tiara Wacana.

Bagikan :

Tambahkan Komentar Ke Twitter

Kebumen Terkini

Peringati Hardiknas, Bupati Kebumen Upayakan Para Guru Honorer Diangkat PPPK
Peringati Hari Buruh, Bupati Kebumen Sebut Angka Penganguran Turun
Berkomitmen Majukan Pendidikan, Bupati Kebumen Raih Penghargaan Detik Jateng-Jogja Awards
Puluhan Ribu Warga Padati Alun-alun Pancasila, Nobar Timnas U-23 vs Uzbekistan
Silaturahmi dengan PPDI, Bupati Minta Perkuat Sinergitas

Arsip Berita

Data Desa

Statistik Pengunjung

Polling 1

Polling 2